PERNAHKAH Anda mengalami kulit memerah dan gatal-gatal setelah mengenakan jam tangan atau gelang dari logam? Atau gejala itu terasa usai menyantap “seafood” misalnya? Sangat memungkinkan Anda alergi terhadap zat tertentu. Kalau cuma gatal tak mengapa, tetapi jika alergi nyaris membawa kita ke liang lahat, nanti dulu. Syukurlah kini ada cara menyembuhkan alergi tanpa obat-obatan.
Saat ini kita hidup di lingkungan yang sudah banyak tercemar. Kegiatan industri dan kendaraan bermotor membuat polusi udara, ditambah lagi dengan berbagai bahan kimia yang bisa meracuni tubuh yang terdapat dalam makanan maupun benda di sekitar kita. Hal-hal tersebut dapat menjadi pemicu terjadinya gangguan kesehatan, terutama bagi orang-orang yang sensitif. Banyak penyakit yang tidak berasal hanya dari virus, namun karena seseorang dikategorikan sangat rentan terhadap beberapa jenis benda alias alergi.
Bertambah buruknya polusi membuat angka penderita alergi di Indonesia kian meningkat. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Heru Sundaru dari RSCM/FKUI menunjukkan, angka penderita asma di Indonesia mencapai 8,2%, alergi hidung 17,5%, dan eksim 2,5-4%. Semua ini disebabkan oleh alergi yang penyebabnya dapat bermacam-macam, seperti interaksi antara faktor genetik, pola hidup, dan lingkungan.
Angka pasti penderita alergi di Indonesia dari tahun ke tahun belum jelas. Akan tetapi, menurut beberapa ahli, insiden alergi meningkat dalam 10 tahun terakhir ini, terutama di negara-negara berkembang. Di Klinik Alergi RS Immanuel Bandung, setiap bulannya yang melakukan tes alergi sekitar 20-30 orang, yang konsultasi jauh lebih banyak.
“Pasien alergi di sini kebanyakan pasien rujukan dari bagian lain seperti kulit, THT, paru, anak, mata,“ kata dr. Melinda Susilo (37).
Reaksi kepekaan abnormal
Alergi adalah suatu reaksi kepekaan abnormal dari tubuh terhadap suatu benda tertentu. Orang yang alergi akan memperlihatkan gejala-gejala alergi jika terkena zat-zat tertentu.
Masih kata dr. Melinda, gejala alergi dapat timbul pada semua usia. Alergi pada dasarnya merupakan kelainan fisik. Bagaimanapun, stres emosional yang berat, rasa takut, cemas, amarah, dan rasa jengkel dapat merangsang sistem saraf sehingga memperberat atau mencetuskan timbulnya gejala alergi. Faktor pencetus lain adalah infeksi, asap rokok, polusi, cuaca dingin/panas, dan kelelahan.
Anak dengan salah seorang orang tuanya yang alergi mempunyai kemungkinan 30% menderita alergi. Akan tetapi, bila kedua orang tuanya menderita alergi, anak tersebut kemungkinan menderita alergi 60%. Selain itu, lingkungan dan pola hidup juga mencetuskan gejala alergi, misalnya debu rumah, tungau, binatang peliharaan, kecoa, jenis makanan tertentu (misalnya susu, telur, ayam), asap rokok, asap mobil, juga obat-obatan.
Terapi
Menurut dr. Lia Brasali Ariefano dari Bio E Indonesia, perkembangan terapi alergi selama ini menunjukkan kemajuan yang pesat. Awalnya, pendekatan terapi alergi hanya dengan penyuluhan untuk pasien agar menghindar dari faktor penyebab alergi tersebut. Lalu dengan berkembangnya dunia farmasi, beberapa jenis obat digunakan untuk meminimalisasi gejala yang timbul akibat alergi, misalnya antihistamin. Akan tetapi, obat-obatan ini tidak menyelesaikan permasalahan.
Pendekatan terapi beralih imunoterapi. Terapi ini melakukan pemberian berulang jenis zat yang diketahui menimbulkan reaksi alergi pada pasien tersebut. Pendekatan imunoterapi merupakan pencegahan dan perlindungan dari gejala alergi dan reaksi radang yang dapat timbul bila pasien kontak dengan alergen (zat yang menimbulkan alergi).
Terapi terkini adalah bioresonansi. Cara ini dapat mengatasi gejala alergi. Terapi ini menggunakan pendekatan ilmu fisika gelombang/kuantum, yaitu ilmu fisika yang berdasarkan pada teori Einstein.
Salah satu pengembangan ilmu biofisika ini sudah diterapkan sejak lama di bidang kedokteran pada alat rekam jantung atau yang lebih dikenal dengan EKG (elektro kardiogram).
Dalam biofisika, setiap substansi terdiri dari energi, juga menghasilkan energi. Dengan energi yang berupa gelombang/resonansi (getaran) inilah, sel-sel tubuh kita berkomunikasi satu sama lain pada frekuensi tertentu. Jika komunikasi antarsel ini berjalan harmonis, berarti orang itu ada dalam kondisi sehat. Namun, kalau komunikasi antarsel ini terganggu oleh substansi yang memiliki frekuensi gelombang lain, fungsi organ tubuh juga dapat terganggu. “Dalam kasus alergi, gangguan ini berkenaan dengan sistem kekebalan tubuh,“ ujar dr. Lia B. Ariefano, alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya Jakarta.
Dengan menggunakan alat Bicom Bioresonance, pola frekuensi yang menimbulkan penyakit dapat diubah menjadi pola frekuensi yang efektif dalam pemulihan fungsi kekebalan tubuh. Metode ini mampu mengeliminasi gelombang abnormal dari bahan asing/alergen dan mengalirkan gelombang normal tubuh sehingga akhirnya menghilangkan sensitivitas yang berlebihan terhadap alergen tersebut. “Dengan demikian, terapi ini merangsang tubuh untuk memulihkan fungsinya sendiri,“ ujar Lia, yang belajar bioresonansi sejak tahun 2007, dan memperdalam di Jerman pada Februari 2008.
Sebelum menjalani terapi, dokter melakukan anamnesis, yaitu melihat riwayat alergi pasien, orang tua, atau keluarga. Di sini pasien harus memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada dokter. Pasien dideteksi dengan Bio Tensor (sensor logam) seperti alat pancing, untuk mengetahui alergi apa yang diderita pasien. Dasar teknologi ini adalah biofisika, pasien hanya duduk santai, kemudian dokter atau terapis memegang, mengoperasikan Bio Tensor dengan tangan kanan, dan ampul berisi cairan alergen di tangan kiri. Apabila Bio Tensor bergerak mendatar/horizontal, artinya pasien tidak menderita alergi. Kalau Bio Tensor bergerak vertikal/naik turun, artinya pasien menderita alergi zat tersebut. Pasien dideteksi dengan 40 macam alergen atau lebih, yang memakan waktu sekitar 15 menit, dan hasilnya saat itu juga bisa diketahui.
Cara lain untuk mendeteksi alergi, sebelah tangan pasien memegang ampul berisi cairan alergen, tangan yang sebelah lagi diangkat kemudian oleh terapis ditekan, pasien harus menahan tekanan terapis. Kalau tidak bisa menahan/lemah, artinya pasien memang alergi. Sebaliknya, kalau bisa menahan tekanan terapis, artinya pasien tidak alergi terhadap alergen tersebut.
Terapi dibagi empat tahap dengan waktu sekitar 20-30 menit, basic therapy, geopathy, scar removal, blockage removal.
“Terapi dilakukan seminggu sekali. Sebaiknya selama menjalani terapi, pasien berhenti dulu makan makanan yang menyebabkan alergi, atau menguranginya,“ kata dr. Stella Tinia, therapist Bio E Hope Bandung.
Sembuh
“Anak saya menderita alergi ikan laut sejak bayi. Sekarang dia sudah berumur 5 tahun. Pernah satu kali saya memberikan potongan ayam dari garpu yang sudah saya lap setelah saya gunakan untuk makan ikan, tidak saya sangka mulutnya langsung bengkak dalam hitungan menit. Kemudian, suatu kali pembantu di rumah memandikan dia, setelah pembantu saya baru saja membersihkan ikan laut. Padahal, dia sudah mencuci tangannya dengan bersih lalu memandikan anak saya. Dalam hitungan menit, seluruh kulit anak saya memerah. Selain itu anak saya juga menderita asma dari kecil,” kata Yana.
Setelah 8 -10 sesi terapi. Yana mencoba memberi makan anaknya ikan laut, ternyata alergi tak datang lagi. “Syukurlah sekarang tubuhnya sudah bisa mengatasi reaksi terhadap ikan laut,“ ungkap Yana.
Lain lagi dengan Ny. Linda (45), yang menderita nyeri di kaki kiri sejak 3 tahun lalu. “Dokter bilang saya menderita rematik. Setiap kali saya menggerakkan kaki kiri, saya sering terasa sakit. Saya terus mengonsumsi obat-obatan dan nyerinya memang agak menghilang, tetapi tidak sampai 50%-nya. Kemudian, saya menjalani terapi bioresonansi. Dalam pertemuan kedua saja, sakitnya sudah sangat berkurang hingga tinggal 30% dan di pertemuan kelima hampir tidak terasa lagi,” paparnya.
Sasha, 21 tahun, setelah dideteksi, dari 40 macam alergen, ternyata ia alergi terhadap sebelas macam. “Saya tidak menduga saya alergi gula putih, cokelat, jagung, dan beras,“ kata Sasha, mahasiswa semester VI . Ia juga alergi terhadap bulu ayam, bulu angsa, bulu hamster, asap rokok, debu, serbuksari padi, tungau. “Selama ini saya selalu bersin-bersin setiap bangun tidur, pilek alias meler setiap saat dan gatal-gatal di kaki kalau habis makan sesuatu,“ tambah Sasha yang sudah 5 tahun pilek terus. Kini ia menjalani sedang dalam terapi di Bio E.
Bayu Limadjaja (27), malah alergi terhadap keringatnya sendiri. “Alergi bagi saya sudah bukan mengganggu lagi, tetapi sudah tahap `memalukan`. Karena kalau sudah basket atau berkegiatan, pasti saya garuk-garuk badan karena gatal yang tak tertahankan,“ ujar Bayu yang juga alergi benang dan formalin. Kini ia tengah menjalani terapi benang, setelah alergi keringatnya terkendalikan.
Sementara itu, Wisnu Wardhono (49) kini sedang menjalani terapi alergi untuk bersin-bersin, suara serak, dan hidungnya meler. “Terapi konvensional mulai dengan prick-test bahkan sampai hidungnya disolder sudah dijalani. Tapi kini saya mengikuti terapi bioresonansi, tidak perlu suntikan, tidak makan obat, asal rajin terapi seminggu sekali, saya yakin bisa sembuh,” katanya.
Proses terapi bioresonansi ini tidak langsung terasa, tetapi perlahan-lahan. “Kini mulai terasa lega pada pagi hari, saat bangun tidur tidak lagi bersin-bersin, hidung tidak meler. Hanya kalau kena debu rumah, buka buku-buku tua masih bersin, tetapi sebentar, “ tutur Wisnu.
Memang, kata dr. Fifi, sang pengelola Klinik Bicom, hampir semua orang di dunia ini menderita alergi. Akan tetapi, kebanyakan orang tidak menyadari bahwa dirinya alergi sesuatu atau banyak alergi.
Jadi, tak ada salahnya memeriksakan diri ke dokter ahli terapi bioresonansi bukan? (Ida F. Suliztyarto)***
1 comment:
Terimakasih sekali infonya....Anak saya terdeteksi memiliki banyaaaaak sekali alergi,saya sungguh bingung karena banyak sekali pantangannya...Kami baru sampai tahap diagnosa,belum mulai program terapinya. Membaca postingan ini membuat hati saya semakin mantap, terimakasih banyak...O,ya,apakah anak saya benar-beanr HARUS diet ketat?? Anak saya bahkan alergi gula dan garam...
Post a Comment