PART III
THE SOUND OF NATURE
Saat kita kembali mendekati alam, kita akan banyak mengenali suara-suara alam yang tidak jarang kita perhatikan saat kita ad adi
Bila saya ad adi kamar say adi rumah, begitu melek mata yang terdengar adalah… “Sayuuurrr” atau “Tiiiiii…” nya tukang roti, atau… horn lagu Give Thanks atau Walls atau apapun yang menyapa kita dan mengingatkan kita akan hari yang penuh dengan konsumerisme dan hedonisme di Jakarta.
Tapi pagi ini… bahkan sejak sebelum saya benar-benar membuka mata… saya (dan kami tepatnya) di sapa oleh… “U u u uuuuuuuuuuu…” Jangan-jangan itu ayam yang sama, yang saya sharingkan di tulisan saya tahun lalu. Paduan suara mereka begitu lengkap dari yang terendah (bass) sampai suara ayam yang sedang tercekik…
Tapi suara-suara itu menyapa saya dengan sapaan yang begitu ringan dan menentramkan hati. Seakan saya tidak dikejar-kejar sesuatu untuk memenuhi apapun. Suara-suara itu hanya ingin mengatakan,”Selamat Pagi! You’re loved”… hehehe… berlebihan ya? At least itu yang saya rasakan…
Setelah semua siap mandi dsbnya, mulailah kesibukan kami dimulai. Memilah-milah obat yang akan di bawa.
Akhirnya setelah makan pagi… kami semua berkumpul di depan rumah untuk briefing.
Kami akan pergi ke 2 desa hari ini. Desa pertama adalah Desa Balong yang akan kami tempuh sekitar 45 menit perjalanan.
Kami memulai perjalanan kami, perjalanan ini tidak terlalu sulit. Tetapi sepanjang perjalanan, mata yang jarang sekali dihibur oleh alam ini, mendapati keindahan alam sepanjang perjalanan... Bukit-bukit hijau menyapa mata saya seakan berkata,“Selamat bekerja“ setiap lambaian pohon dan hijau daun seakan tersenyum kepada saya... dan saya memandang mereka dengan tersenyum. That’s my second sound of nature.
Terbayang oleh saya... bagaimana St. Fransiscus Asisi yang begitu mencintai alam seakan bisa berbicara dengan alam… saya merasakannya dan saya mengerti.
Sesampainya di Balong, kami langsung masuk ke dalam Gereja (atau Kapel?) St.Yoseph. Kami berkumpul bersama dengan umat yang sudah menunggu di situ. Kebetulan saya duduk berdekatan dengan mereka. Sambil menunggu acara doa sebelum acara dimulai, saya menyempatkan ngobrol dengan mereka. Ibu itu tak henti-hentinya tersenyum, seakan gembira sekali saya ajak bicara. Hal-hal seperti ini membuat saya ’GR’. Reaksi mereka saat kita ajak berbicara, seakan mereka sedang diajak bicara oleh... orang yang begitu mereka harapkan.
And this sound of nature really touched my heart. Reaksi ini yang tidak saya dapatkan bila saya berhadapan dengan siapapun di
L : “Sudah menunggu lama Bu…”
I : “Sudah… karena takut terlambat, harus jalan pagi-pagi”
L : ’’Oh... memang jalan dari rumah ke sini berapa lama ? ’’
I: ‘’ Seharusnya sekitar 1 jam, Cuma karena membawa 3 anak saya, jadi bisa agak lama sampai di sini ‘’
L‘ : ’Ibu mau ambil beasiswa ?’’ (hehehe... pertanyaan bodoh, melihat semua senjata perang yang di bawanya, pastilah dia mau ambil beasiswa)
I: ‘’ Iya, untuk anak sayang yang ini. Naik kelas 3 SD. 2 yang lain keponakan dan anak tetangga saya.’’
Tentu saja dengan bahasa bercampur Jawa dan lebih sederhana dari kata-kata di atas, tapi saya menuliskannya seperti ini karena saya lupa... J
Beasiswa yang diberikan untuk anak SD adalah Rp.44.000 untuk anak SD selama 6 bulan.
Dan Rp.44.000 ribu adalah : 1 x makan siang kita di mal Jakarta, 1 cup Ice Frapucino… gosshhhh… hidup rasanya kok tidak terlalu ramah di sini.
Tetapi senyum tetap menjawab ketidak ramahan itu…
Ketidak teraturan di hadapi membuat petugas pendaftaran harus pura-pura ‘ngambek’ berhenti bekerja supaya mereka mau antri.
Banyak hal yang seperti nya tidak masuk dalam peradaban dunia modern. Budaya ngantri misalnya.. tidak masuk dalam pengertian mereka.
Tetapi ironisnya… kadang semua aturan dan keberadaban membuat kita jadi melupakan banyak sisi-sisi kemanusiaan dan harkat hidup sesama.
Saat itulah perang terjadi di mana-mana, hak hidup manusia dengan mudahnya diambil tanpa kompromi, dan setelah itu kesengsaraan menjadi sahabat manusia.
Saya melihat ini semua dan bertanya dalam hati… kadang saya begitu meremehkan semua yang saya anggap ‘tak beradab’ tanpa saya ber refleksi… adakah hal-hal lain yang tak beradab yang saya lakukan…? Saya adalah seseorang yang mengerti budaya antri… tetapi apakah saya menjadi lebih baik dan lebih beradab dari mereka…?
To be continued